Gabungan serikat Buruh Bogor FISBI, FSPMI, SPN, FSP-KEP, FSP-LEM dan beberapa serikat pekerja/buruh lainya geruduk kantor Bupati Bogor, Kamis (30/10)
BOGOR|EM_six.org - Kebijakan
penetapan upah minimum selalu menjadi topik terhangat dalam diskusi perburuhan
karena tak pernah lepas dari kontroversi dan perdebatan tentang penetapan
angkanya, pengusaha seringkali memandang
cara penetapan upah minimum dianggap
hanya didasarkan pada asumsi-asumsi maya tentang kebutuhan hidup pekerja/buruh,
meskipun ketentuan upah minimum sudah ditetapkan berdasarkan keputusan
pemerintah namun dalam penerapannya (Implementasi)
banyak ditemukan kasus-kasus dimana pemberi kerja mengabaikan ketentuan upah
minimum yang berlaku dan memberikan upah pokok dibawah upah minimum terhadap
pekerja/buruhnya;
Para
Pengusaha dan Pemerintah terlihat mendominasi proses untuk upah buruh murah
ketimbang menjalankan amanat Undang-undang Ketenagakerjaan, dalam ketentuan
Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (2), ayat (3) UU 13/2003 dijelaskan bahwa upah minimum harus diarahkan pada
pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Gubernur dalam menetapkan upah minimum
dengan memperhatikan rekomendasi dari
Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/walikota. Akan tetapi Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) menganggap kenaikan upah minimum bertentangan
dengan lapangan pekerjaan, kelangsungan hidup pengusaha dan menyebabkan pengangguran,
surutnya niat investasi asing, banyaknya investasi asing yang gulung tikar,
pendapat inilah yang kemudian mendorong Pemerintah menjalankan kebijakan upah
murah yang akhirnya terkesan kaum buruh tidak ada pilihan lain untuk menerima
upah murah daripada ter-PHK dan menjadi pengangguran;
Padahal
sesungguhnya tidak ada korelasi langsung antara kenaikan upah pekerja/buruh dan
peningkatan investasi asing yang masuk ke Indonesia, argument penolakan penetapan Upah berdasarkan KHL yang saat ini seharusnya
didasarkan pada 84 item KHL sebenarnya hanya mempertontonkan lemahnya sistem
hukum nasional dan parahnya kerusakan sistem politik-ekonomi dan birokrasi
disisi lain juga ketidakmampuan kaum pemodal (Pengusaha) dan pemerintah untuk
mengatasi persoalan ini;
Atas
pemaparan diatas, Pemerintah Kabupaten
Bogor khususnya yang bertanggung jawab dalam bidang Ketenagakerjaan haruslah
lebih berperan aktif dalam mengawasi
serta berani menindak tegas pengusaha ”
nakal” yang tidak patuh hukum contohnya PT. Banteng Pratama Rubber yang
berproduksi ban MIZZLE dan Lucky Stones dalam perkara dugaan
pelanggaran tindak Pidana PDS upah (iuran Jamsostek), pemutusan hubungan kerja
secara masiv, pelanggaran hak berunding PKB, tindakan diskriminasi pembayaran
Tunjangan Hari Raya;
Selain
itu, dalam memaksimalkan badan pengawas ketenagakerjaan serta menindak tegas
pengusaha “nakal” Pemerintah Kabupaten
Bogor mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan melelui Peraturan Daerah tentunya
yang berpihak kepada pekerja/buruh sebagai pelaku ekonomi yang harus
diperhatikan dan dilindungi oleh Pemerintah, (30/10)