Minggu, 02 November 2014

“ APINDO DAN PEMERINTAH TERLIHAT MENDOMINASI UPAH MURAH "


Gabungan serikat Buruh Bogor FISBI, FSPMI, SPN, FSP-KEP, FSP-LEM dan beberapa serikat pekerja/buruh lainya geruduk kantor Bupati Bogor, Kamis (30/10)



BOGOR|EM_six.org - Kebijakan penetapan upah minimum selalu menjadi topik terhangat dalam diskusi perburuhan karena tak pernah lepas dari kontroversi dan perdebatan tentang penetapan angkanya, pengusaha  seringkali memandang cara penetapan upah minimum  dianggap hanya didasarkan pada asumsi-asumsi maya tentang kebutuhan hidup pekerja/buruh, meskipun ketentuan upah minimum sudah ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah namun dalam penerapannya (Implementasi) banyak ditemukan kasus-kasus dimana pemberi kerja mengabaikan ketentuan upah minimum yang berlaku dan memberikan upah pokok dibawah upah minimum terhadap pekerja/buruhnya;
Para Pengusaha dan Pemerintah terlihat mendominasi proses untuk upah buruh murah ketimbang menjalankan amanat Undang-undang Ketenagakerjaan, dalam ketentuan Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (2), ayat (3) UU 13/2003 dijelaskan bahwa upah minimum harus diarahkan pada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Gubernur dalam menetapkan upah minimum dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/walikota. Akan tetapi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menganggap kenaikan upah minimum bertentangan dengan lapangan pekerjaan, kelangsungan hidup pengusaha dan menyebabkan pengangguran, surutnya niat investasi asing, banyaknya investasi asing yang gulung tikar, pendapat inilah yang kemudian mendorong Pemerintah menjalankan kebijakan upah murah yang akhirnya terkesan kaum buruh tidak ada pilihan lain untuk menerima upah murah daripada ter-PHK dan menjadi pengangguran;
Padahal sesungguhnya tidak ada korelasi langsung antara kenaikan upah pekerja/buruh dan peningkatan investasi asing yang masuk ke Indonesia, argument penolakan penetapan Upah berdasarkan KHL yang saat ini seharusnya didasarkan pada 84 item KHL sebenarnya hanya mempertontonkan lemahnya sistem hukum nasional dan parahnya kerusakan sistem politik-ekonomi dan birokrasi disisi lain juga ketidakmampuan kaum pemodal (Pengusaha) dan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini;
Atas pemaparan diatas,  Pemerintah Kabupaten Bogor khususnya yang bertanggung jawab dalam bidang Ketenagakerjaan haruslah lebih berperan aktif  dalam mengawasi serta berani menindak tegas pengusaha ” nakal” yang tidak patuh hukum contohnya PT. Banteng Pratama Rubber yang berproduksi ban MIZZLE dan Lucky Stones dalam perkara dugaan pelanggaran tindak Pidana PDS upah (iuran Jamsostek), pemutusan hubungan kerja secara masiv, pelanggaran hak berunding PKB, tindakan diskriminasi pembayaran Tunjangan Hari Raya;
Selain itu, dalam memaksimalkan badan pengawas ketenagakerjaan serta menindak tegas pengusaha “nakal” Pemerintah Kabupaten Bogor mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan melelui Peraturan Daerah tentunya yang berpihak kepada pekerja/buruh sebagai pelaku ekonomi yang harus diperhatikan dan dilindungi oleh Pemerintah, (30/10)